IBRANI 10 : 1 – 18
TEMA : PERSEMBAHAN YANG SEMPURNA
Ada satu suku di Papua, yang bernama suku SAWI. Suku
ini adalah suku pengembara, yang sampai dengan awal tahun 1960-an masih hidup
dalam keadaan primitif. Suku ini dikenal
sebagai suku yang suka memuja penghianatan, kanibal, suka berperang, dan
menggunakan tengkorak kepala musuh mereka sebagai alas tidur. Salah satu budaya
yang terkenal dari suku Sawi adalah menjalin persahabatan kemudian menghianati
sahabat dengan mula-mula menggemukkan dia lalu membunuh dan memakan dagingnya.
Cara hidup yang demikian membuat kehidupan mereka dengan suku-suku yang lain
diliputi oleh kecurigaan dan selalu siap untuk berperang. Itulah sebabnya
mengapa begitu sulit sekali membawa Injil masuk dalam kehidupan dan budaya suku
ini. Namun di tahun 1962, salah satu lembaga Kristen di Kanada, mengutus
sepasang suami istri yang bernama Don dan Carol Richardson untuk memberitakan
Injil Yesus Kristus di antara orang-orang suku Sawi. Sudah tentu ada banyak
rintangan yang harus dihadapi oleh Don dan Carol dalam memperkenalkan kekristenan
kepada mereka. Jurang yang memisahkan antara kekristenan dan keganasan suku
Sawi sangat lebar dan sepertinya sulit untuk dijembatani. Sekalipun demikian
budaya mereka tentang anak perdamaian menunjukkan ketulusan mereka untuk
menciptakan perdamaian di antara suku-suku yang suka berperang. Tradisi anak
perdamaian diberlakukan kalau tidak ada jalan lain bagi dua pihak yang saling
berperang untuk berdamai. Seorang ayah dari salah satu pihak menyerahkan anak
kandungnya sendiri, yakni seorang bayi laki-laki, kepada wakil dari pihak
musuh. Kemudian dari pihak musuh juga akan menyerahkan seorang bayi laki-laki
dari sukunya kepada orang yang tadi menyerahkan anaknya. Masing-masing pihak
kemudian membuat janji secara lisan yang didengar banyak saksi dari kedua belah
pihak bahwa mereka akan mempertahankan perdamaian selama kedua anak itu hidup.
Sesudah itu orang-orang dari kedua belah
pihak yang tadi menerima dan menyerahkan anaknya sebagai jaminan perdamaian
akan memanggil kaum kerabat dari sukunya untuk meletakkan telapak tangan mereka
atas anak perdamaian itu sebagai tanda bahwa mereka pun akan ikut menjaga
perdamaian di antara kedua pihak.
Saudara yang terkasih,….
Tradisi ini memang bagus, namun sesungguhnya tidak
menjamin perdamaian yang kekal akan terjadi antara kedua pihak yang berseteru.
Karena ketika salah seorang anak perdamaian meninggal dunia, perang pasti
berkobar lagi. Don dan Carol kemudian menggunakan tradisi ini sebagai batu
loncatan guna memperkenalkan tentang Yesus Kristus. Yesus Kristus juga adalah
Anak Perdamaian yang diberikan Allah untuk memperdamaikan manusia dengan Allah.
Namun sudah tentu ada perbedaan yang sangat besar antara anak perdamaian dari
suku Sawi dengan Anak Perdamaian dari Allah. Penulis surat Ibrani dalam bagian
pembacaan kita tadi, jelas-jelas hendak memperlihatkan perbedaan tersebut.
Penulis surat Ibrani memang tidak berbicara tentang perjanjian damai yang
dilakukan di suku Sawi, melainkan penulis berbicara tentang apa yang sering
dilakukan oleh orang-orang Yahudi guna mendapatkan penebusan dosa. Namun kita
lihat ada kemiripan antara kebiasaan suku Sawi dan kebiasaan orang-orang
Yahudi.
Guna mendapatkan pengampunan dosa, setiap tahun
orang-orang Yahudi akan membawa persembahan/korban penghapus dosa ke dalam Bait
Allah. Sekalipun hal tersebut dilakukan terus menerus atau berulang-ulang,
tetap tidak memberi jaminan bahwa dosa-dosa umat sudah diampuni. Di ayat empat
dikatakan “Sebab tidak mungkin darah lembu
jantan atau darah domba jantan menghapuskan dosa.” Pengampunan atas dosa
yang telah menyebabkan putusnya hubungan manusia dengan Allah, merupakan
kebutuhan utama dari umat manusia/orang-orang percaya. Kebutuhan ini tidak bisa
dianggap sepele atau dipandang tidak penting. Sebaliknya kebutuhan ini sangat
penting. Itulah sebabnya mengapa orang-orang Yahudi setiap tahun harus membawa
korban persembahan penghapus dosa. Karena kebutuhan atas penghapusan dosa
teramat sangat penting, maka Allah berinisiatif untuk menyerahkan Anak-Nya yang
tunggal, Yesus Kristus sebagai Persembahan yang sempurna dalam menghapus dosa
umat manusia. Dalam kehadiran-Nya ditengah-tengah dunia ini, Yesus Kristus tahu
bahwa Dia adalah Anak Perdamaian. Untuk menghapus dosa umat manusia, Yesus
Kristus tidak mengorbankan kambing jantan atau lembu jantan, sebaliknya Ia
mengorbankan diri-Nya sendiri. Yesus mau
menanggung semua penderitaan dan kematian akibat dosa, demi memberikan hidup
yang sesungguhnya kepada manusia. Dan apa yang Yesus lakukan ini, berbeda dengan
yang dilakukan oleh suku Sawi dan juga orang-orang Yahudi. Perbedaannya nampak
dari :
1.
Pengorbanan Yesus dilakukan satu kali untuk selama-lamanya, (Roma 6 : 10).
2. Pengorbanan Yesus memberikan jaminan keselamatan
yang kekal untuk setiap orang yang percaya kepada-Nya.
3. Pengorbanan
Yesus Kristus dilakukan atas dasar
KASIH, (Yohanes 3:16).
Orang-orang dari suku Sawi harus menjaga supaya anak
perdamaian tidak boleh mati sehingga mereka dapat hidup aman dan damai;
orang-orang Yahudi harus berulang-ulang/terus-menerus mempersembahkan korban penghapus
dosa, supaya mereka diyakinkan bahwa dosa mereka diampuni. Namun Yesus Kristus
melakukan penebusan dosa satu kali untuk selama-lamanya, tanpa mengorbankan
orang lain, tapi diri-Nya sendiri. Itulah sebabnya pengorbanan Yesus untuk
penghapusan dosa/pengampunan dosa disebut sebagai PERSEMBAHAN YANG SEMPURNA.
Saudara-saudara terkasih,….
Pada hari Jumaat, 7 April 2023 kita kembali
diundang oleh Yesus Kristus ke dalam Perjamuan Kudus, di Jumaat Agung. Sama seperti perayaan
Perjamuan Kudus yang selalu kita ikuti selama ini, Perayaan Perjamuan Kudus
kali ini pun hendak mengingatkan kita bahwa pengampunan atas dosa-dosa kita
dimungkinkan oleh Kasih dan Kemurahan Allah atas kita semua. Bukti dari
pengorbanan Yesus itu yang kita rayakan dalam bentuk Perjamuan Kudus.
Simbol-simbol yang dipakai dalam Perjamuan Kudus, seperti Meja Perjamuan yang
berbentuk salib, Roti dan Anggur, semuanya itu juga bermaksud untuk
mengingatkan kita tentang Persembahan Yang Sempurna yang sudah terjadi di kayu
salib pada dua ribu tahun yang lalu. Kalau Allah dapat memberikan yang terbaik
yang ada pada-Nya yaitu Yesus Kristus sebagai Korban Persembahan yang sempurna
bagi kita, kalau Yesus Kristus rela memberikan diri-Nya menderita bahkan mati
di kayu salib ganti kita, lantas apa yang sudah kita lakukan sebagai respons
kita atas karya keselamatan Allah itu? Sudahkah kita juga memberi yang terbaik
yang ada pada kita kepada Allah? Sudahkah kita mengasihi Allah dengan sungguh?
Sudahkah kita sungguh-sungguh meninggalkan kehidupan yang mendatangkan dosa
dalam hidup kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar